SEJARAH LEAN SIX SIGMA

admin | 26 June 2025 • 13 minutes

Globalisasi menjadikan scope bisnis menjadi luas sehingga meningkatkan konsumsi dan naiknya permintaan. Disatu sisi hal ini menjadi peluang besar bagi pelaku usaha. Namun, menjadi bumerang jika tak dapat memenuhi perkembangan dan permintaan masyarakat. Pertanyaannya, apa faktor penentu untuk bisa bertahan? Bisa dikatakan cost produksi yang yang tetap mempertahankan kualitas atau mutu menjadi hal penting dalam bisnis. Dalam arti lain menjaga konsistensi output dari sesuatu yang ditawarkan oleh perusahaan. Semakin banyak (Permintaan) Demand, (persediaan) Supply juga harus mengikuti sesuai dengan prinsip ekonomi. Dalam hal ini, perusahaan haruslah mencukupi persediaan bersamaan dengan harga yang kompetitif dan kualitas produk. Dengan kata lain nyaris tanpa celah.

Dari semua itu, terdapat satu metodologi yakni Lean Six Sigma (LSS). Metode ini adalah senjata ampuh untuk menjaga mutu, mengefisiensi proses, mengurangi kesalahan, serta mengikuti tren konsumen. Untuk semakin yakin, mari ikuti cerita sejarah perkembangan metode LSS. Tulisan ini menggunakan referensi buku Council for Six Sigma Certification (2018) dan The Machine That Changed the World: The Story of Lean Production (2007).  Sebagai tambahan, mulanya Lean dan Six Sigma bukanlah satu konsep yang dikenal seperti sekarang. Namun keduanya bersinggungan dalam cerita perjalananya. Menariknya, sebuah ide, konsep, praktek kerja hingga kepentingan usaha saja bisa terpotret dalam satu bingkai sejarah, maka tidakkah hal itu cukup menarik untuk diikuti ?

 


Sejarah Lean Manufacturing : Toyota

Sebelum itu alangkah baik nya mengerti dahulu, apa itu Lean Six Sigma. LSS adalah metodologi peningkatan proses yang mengintegrasikan prinsip-prinsip untuk mencapai kinerja bisnis yang unggul. Lean fokusnya adalah pada penghapusan pemborosan dalam segala bentuknya untuk mempercepat proses, mengurangi biaya, dan meningkatkan aliran nilai kepada pelanggan. Sedangkan, Six sigma untuk pengurangan variasi dan cacat dalam proses melalui penggunaan alat statistik dan metodologi terstruktur seperti DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) untuk mencapai tingkat kualitas tinggi.

Perusahaan Toyota didirikan oleh Eiji Toyoda tahun 1937. Karena kebijakan pemerintah saat itu, perusahaan hanya memproduksi kendaraan bermotor yang berspesialisasi truk militer. Pasca perang, kondisi ekonomi Jepang cukup memprihatinkan. Di saat yang sama, banyak produsen kendaraan bermotor dari negara luar ingin membangun bisnisnya disana. Hal itu memicu respon pemerintah, yang segera mengeluarkan kebijakan larangan investasi asing secara langsung pada industri otomotif. Kondisi ini mendorong perusahaan memasuki industri otomotif di awal 1950. 

Dalam pelaksanaannya, terdapat masalah yang berkaitan dengan karyawan. Salah satu petinggi perusahaan, Taiichi Ohno, berpikir bahwa jika seorang pekerja mulai bekerja pada usia sekitar 18 tahun dan pensiun pada usia 60 tahun, maka dalam rentang waktu tersebut keterampilan pekerja harus terus meningkat agar tetap efisien dan bermanfaat bagi perusahaan. Mengacu pada pendekatan dari Ford, ia kemudian menerapkan tahapan baru yang telah disesuaikan dengan kebutuhan perusahaannya.

Langkah pertama yang diterapkan Ohno adalah mengelompokkan para pekerja ke dalam tim-tim kecil yang dipimpin oleh seorang pemimpin. Setiap tim tidak hanya bertanggung jawab atas tugas utamanya, tetapi juga diberi tanggung jawab tambahan seperti kegiatan tata graha, perbaikan peralatan kecil, dan pemeriksaan kualitas. Selain itu, waktu khusus disediakan bagi tim untuk berdiskusi dan memberikan saran kolektif guna meningkatkan proses kerja.

Ohno mengamati bahwa dalam praktik produksi massal konvensional, kesalahan kecil sering kali dibiarkan terus terjadi sepanjang lini produksi dengan asumsi bahwa kesalahan tersebut akan terdeteksi di tahap akhir. Pendekatan ini justru memungkinkan kesalahan awal — baik berupa komponen cacat maupun kesalahan pemasangan — untuk terus berkembang dan diperparah oleh proses selanjutnya. Akibatnya, ketika masalah akhirnya ditemukan pada produk kompleks seperti kendaraan di akhir jalur produksi, perbaikannya menjadi sangat sulit dan mahal, serta menyebabkan banyak unit serupa mengalami cacat yang sama.

Ohno kemudian melangkah lebih jauh. Idenya adalah memperbaiki setiap kesalahan dan berharap hal itu tidak terjadi lagi. Ohno malah menerapkan sistem pemecahan masalah yang disebut “the five whys.” Pekerja diajarkan untuk mendeteksi setiap kesalahan secara sistematis hingga ke penyebab utamanya (dengan menanyakan “mengapa” saat setiap lapisan masalah terungkap), lalu merancang perbaikan, sehingga hal itu tidak akan pernah terjadi lagi.

Awalnya, sistem kerja ini menyebabkan seringnya penghentian jalur produksi dan menimbulkan frustasi di antara para pekerja. Namun, seiring tim kerja semakin mahir dalam mengidentifikasi dan menelusuri akar penyebab masalah, jumlah kesalahan menurun secara signifikan. Saat ini, di pabrik Toyota dengan sistem di mana setiap pekerja berwenang menghentikan lini, tingkat hasil produksi mendekati 100 persen, yang berarti jalur produksi hampir tidak pernah berhenti. Lebih mengejutkan lagi, seiring efektifnya sistem Ohno, kebutuhan pengerjaan ulang sebelum pengiriman terus menurun, dan kualitas mobil yang dikirimkan meningkat pesat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa pemeriksaan kualitas, betapa pun telitinya, tidak mampu mendeteksi semua potensi cacat pada kendaraan modern yang kompleks.

Prinsip-prinsip yang mendorong sistem Toyota, dan fondasi Manajemen Proses Lean

  • Nilai yang diberikan pada konsumen 
  • Mengidentifikasi aliran nilai untuk kebutuhan dan keinginan pelanggan 
  • Mengidentifikasi pemborosan dalam proses 
  • Penciptaan aliran proses yang berkesinambungan 
  • Secara berkelanjutan berupaya mengurangi jumlah langkah dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kepuasan pelanggan

Manajemen Lean sangat berfokus pada penghilangan pemborosan dalam setiap proses. Pemborosan meningkatkan biaya dan waktu, sehingga sangat mengurangi kerugian.

 


 Sejarah Six Sigma : Motorola

Secara definitif, Six Sigma adalah pendekatan berbasis statistik yang digunakan untuk mendefinisikan, mengukur, menganalisis, meningkatkan, dan mengendalikan proses guna mencapai peningkatan kualitas yang berkelanjutan. Tim Six Sigma biasanya menerapkan metodologi yang dikenal sebagai DMAIC, singkatan dari Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control. Metodologi ini terdiri dari lima fase utama yang digunakan untuk meningkatkan proses yang sudah ada secara sistematis dan terukur.

Six Sigma berakar dari pengembangan konsep pengendalian proses statistik. Awalnya, fondasi teoritisnya dimulai pada abad ke-19 melalui pengembangan kurva normal oleh Carl Friedrich Gauss. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut pada awal abad ke-20 oleh Walter Shewhart, seorang insinyur yang memperkenalkan cara penerapan pengendalian proses statistik dalam dunia industri. Tujuannya adalah untuk membantu organisasi mempertahankan dan meningkatkan kinerja proses manufaktur secara berkelanjutan.

Pada periode yang sama, W. Edwards Deming — seorang fisikawan dan matematikawan yang bekerja di Departemen Pertanian Amerika Serikat — juga tertarik pada konsep tersebut. Deming kemudian membawa teori statistik Shewhart ke Biro Sensus Amerika Serikat, menjadikannya salah satu tokoh pertama yang menerapkan konsep pengendalian statistik proses di luar lingkungan manufaktur.

Setelah Perang Dunia II, W. Edwards Deming bekerja di Jepang atas nama pemerintah Amerika Serikat untuk membantu memulihkan industri negara tersebut. Di sana, ia menanamkan prinsip-prinsip statistik dan konsep kualitas yang kemudian menjadi dasar dari Sistem Produksi Toyota, yang saat ini lebih dikenal sebagai Lean Manufacturing.

Konsep-konsep tersebut diterapkan untuk menjawab kebutuhan industri Jepang yang sedang bangkit kembali. Para pemimpin Toyota mengadopsi pendekatan manufaktur baru dengan mengintegrasikan prinsip statistik dan manajemen kualitas ke dalam sistem produksi mereka. Hasilnya adalah sebuah sistem yang tidak hanya meningkatkan efisiensi produksi dan fleksibilitas produk, tetapi juga secara signifikan menurunkan biaya dan meningkatkan kualitas.

Meskipun dasar Six Sigma telah ditetapkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, konsep-konsep ini baru mencapai kesuksesan besar di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1980-an. Puluhan tahun setelah Toyota mengembangkan sistemnya, para insinyur di Motorola mulai mempertanyakan seberapa efektif program manajemen mutu mereka. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pertama kali muncul setelah sebuah perusahaan Jepang mengambil alih televisi Motorola pabrik produksi. Dengan menerapkan konsep Lean, perusahaan baru tersebut mulai membuat televisi yang menunjukkan jumlah cacat 1/20 lebih sedikit dibandingkan dengan televisi buatan Motorola sendiri. Saat itu, departemen di seluruh Motorola mengukur cacat sebagai rasio dari seribu peluang. 

CEO Motorola, Bob Galvin, menantang organisasinya untuk mencapai peningkatan kualitas dan produktivitas yang luar biasa—sepuluh kali lipat dalam kurun waktu lima tahun. Untuk menjawab tantangan tersebut, dua insinyur utama, Bill Smith dan Dr. Mikel Harry, mulai mengembangkan pendekatan baru terhadap pengendalian kualitas.

Mereka menyadari bahwa mengukur tingkat kesalahan dalam rasio per seribu peluang tidak cukup akurat untuk kontrol proses statistik yang efektif. Oleh karena itu, mereka memperkenalkan pendekatan baru dengan mengukur kesalahan dalam satuan per sejuta peluang (defects per million opportunities/DPMO). Langkah ini menjadi dasar dari pengembangan Six Sigma sebagai metode dan tujuan perbaikan proses yang lebih presisi dan terukur.

Selama dua dekade berikutnya, Motorola secara konsisten menyempurnakan metodologi Six Sigma, yang berdampak besar tidak hanya pada kualitas produk, tetapi juga pada peningkatan layanan pelanggan, proses teknik, serta dukungan teknikal. Six Sigma juga mendorong kolaborasi yang lebih erat antara unit internal dan mitra eksternal perusahaan.

Keberhasilan ini tercermin dalam hasil finansial yang signifikan: Motorola melaporkan penghematan lebih dari 16 miliar dolar AS dalam 12 tahun melalui inisiatif perbaikan proses yang berkelanjutan. Selain itu, Motorola turut berperan dalam menyebarluaskan Six Sigma melalui publikasi, pelatihan, dan kemitraan, sehingga menjadikan Six Sigma sebagai metodologi statistik yang dapat diterapkan secara luas di berbagai industri.

Meskipun Toyota mungkin tidak mengadopsi kerangka kerja DMAIC atau alat statistik Six Sigma secara eksplisit pada awalnya, prinsip-prinsip inti dari penggunaan data untuk pengukuran, analisis, dan pengendalian variasi sudah tertanam dalam DNA Sistem Produksi Toyota. Ketika Lean kemudian menyebar ke Barat dan bertemu dengan Six Sigma, terjadi integrasi yang lebih formal, yang menghasilkan Lean Six Sigma seperti yang kita kenal sekarang. Namun, fondasi pemikiran berbasis data dan perbaikan berkelanjutan sudah kuat di Toyota jauh sebelum adopsi formal Six Sigma.

 


 Gabungan Ide Lean Six Sigma

Gabungan metode LSS juga dikarenakan hal lain seperti (TQM) Total Quality Management. Pendekatan TQM terhadap kualitas adalah salah satu metode formal pertama yang diberlakukan dalam lingkungan bisnis di Amerika Serikat. Muncul pada tahun 1950- an namun baru mendapat kepopuleran di tahun 1980-an. Menariknya TQM popular karena menjadi bahan lelucon karena banyaknya upaya yang dikeluarkan di awal untuk kualitas namun kurang dalam feedbacknya. Konsep ini juga sangat bergantung pada bagaimana cara implementasi dan budaya organisasi. Meskipun begitu, metode tersebut merupakan titik loncatan penting menuju metode perbaikan dan mutu terkini seperti Six Sigma.

Pada akhirnya, Lean, Six Sigma, dan Total Quality Management (TQM) memiliki tujuan yang sama: mendorong perubahan berkelanjutan, baik dalam skala besar maupun kecil, untuk membawa organisasi semakin dekat ke arah kesempurnaan operasional.

  • Dalam pendekatan Lean, kesempurnaan didefinisikan sebagai proses yang sepenuhnya bebas dari pemborosan (waste).
  • Dalam Six Sigma, kesempurnaan didekati secara statistik, yaitu dengan mencapai tingkat cacat maksimal sebesar 3,4 per satu juta peluang—atau level 6 sigma.
  • Sementara dalam TQM, setiap organisasi umumnya menetapkan sendiri definisi “kesempurnaan” yang ingin dicapai, sesuai dengan visi dan konteks masing-masing.

Berbeda dengan ketiganya, pendekatan Business Process Reengineering (BPR) lebih menekankan pada perubahan radikal daripada perbaikan bertahap. Fokus utama BPR adalah merancang ulang proses bisnis secara menyeluruh untuk mencapai peningkatan performa yang dramatis dalam aspek seperti biaya, kualitas, layanan, atau kecepatan. 

 Frequently Asked Questions (FAQs) 

1. Bagaimana LSS mengukur keberhasilan implementasinya di sebuah organisasi?

Keberhasilan implementasi LSS diukur melalui metrik-metrik yang relevan dengan tujuan strategis organisasi. Ini dapat mencakup penurunan tingkat cacat (DPMO atau persentase cacat), pengurangan waktu siklus proses, penghematan biaya yang terukur dari proyek perbaikan, peningkatan kepuasan pelanggan (melalui survei atau metode lainya), selain itu ada faktor peningkatan keterlibatan karyawan.

Keberhasilan implementasi LSS diukur melalui berbagai metrik yang sejalan dengan tujuan strategis organisasi. Metrik-metrik ini membantu memastikan bahwa inisiatif perbaikan yang dilakukan benar-benar memberikan dampak nyata terhadap kinerja operasional dan nilai bisnis. Beberapa indikator utama yang umum digunakan meliputi:

  1. Penurunan Tingkat Cacat (Defects):
    • Diukur menggunakan Defects Per Million Opportunities (DPMO) atau persentase cacat.
    • Semakin rendah angka DPMO, semakin tinggi tingkat kapabilitas proses.
  2. Pengurangan Waktu Siklus (Cycle Time):
    • Mengukur seberapa cepat suatu proses dapat diselesaikan dari awal hingga akhir.
    • Lean Six Sigma bertujuan memangkas waktu tunggu, langkah tidak bernilai tambah, dan hambatan proses.
  3. Penghematan Biaya (Cost Savings):
    • Penghematan biaya yang dapat diukur secara kuantitatif dari hasil proyek perbaikan.
    • Termasuk efisiensi operasional, pengurangan pemborosan, dan peningkatan produktivitas.
  4. Peningkatan Kepuasan Pelanggan:
    • Diukur melalui survei pelanggan, Net Promoter Score (NPS), umpan balik pelanggan, atau pengurangan keluhan.
    • Menunjukkan sejauh mana perbaikan proses meningkatkan nilai bagi pelanggan.
  5. Peningkatan Keterlibatan dan Kepuasan Karyawan:
    • Diukur melalui survei internal, partisipasi dalam proyek perbaikan, serta indikator motivasi dan retensi karyawan.
    • Lingkungan kerja yang mendukung perbaikan berkelanjutan mendorong budaya kualitas

 

2. Bagaimana LSS mengatasi resistensi terhadap perubahan?

Penting untuk diingat bahwa metode ini bukanlah program sesaat,namun perjalanan untuk membentuk kebiasaan dan budaya kerja, sehingga memerlukan waktu yang relatif tidak sebentar. Di lain sisi, resistensi terhadap perubahan dalam implementasi Lean Six Sigma memerlukan pendekatan yang melibatkan komunikasi tentang tujuan dan manfaat perubahan, pelibatan karyawan dari berbagai tingkatan dalam proses identifikasi masalah dan perbaikan, memberikan pelatihan dan dukungan yang memadai, menunjukkan keberhasilan awal serta memastikan dukungan kuat dari kepemimpinan.

Lean Six Sigma bukan sekadar program jangka pendek, melainkan sebuah perjalanan untuk membangun kebiasaan dan budaya kerja yang berkelanjutan. Oleh karena itu, proses implementasinya memerlukan waktu dan kesabaran.

Resistensi terhadap perubahan adalah tantangan umum yang harus dihadapi, dan untuk mengatasinya, LSS menerapkan beberapa pendekatan kunci:

  1. Komunikasi yang Jelas dan Terbuka:
    Menjelaskan secara transparan tujuan dan manfaat dari perubahan yang akan diterapkan agar seluruh pihak memahami nilai dari inisiatif tersebut.
  2. Pelibatan Karyawan di Berbagai Tingkatan:
    Mengikutsertakan karyawan dalam proses identifikasi masalah dan pengembangan solusi agar mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap perubahan.
  3. Pelatihan dan Dukungan:
    Memberikan pelatihan yang memadai serta dukungan teknis dan emosional agar karyawan siap menjalankan metode baru dengan percaya diri.
  4. Menunjukkan Keberhasilan Awal (Quick Wins):
    Mengidentifikasi dan mempublikasikan hasil perbaikan awal yang signifikan untuk membangun kepercayaan dan motivasi.
  5. Dukungan Kepemimpinan yang Kuat:
    Memastikan manajemen puncak aktif mendukung dan memimpin perubahan agar menjadi contoh dan penggerak utama budaya baru.

 

3. Apakah Lean Six Sigma relevan untuk semua jenis industri dan ukuran organisasi?

Prinsip-prinsip dasar LSS — yang berfokus pada penciptaan nilai bagi pelanggan, eliminasi pemborosan, pengurangan variasi, dan perbaikan berkelanjutan — pada dasarnya relevan untuk semua jenis industri dan ukuran organisasi.

Baik organisasi di sektor manufaktur, layanan, kesehatan, keuangan, maupun sektor publik dapat memperoleh manfaat signifikan berupa peningkatan efisiensi operasional, kualitas produk atau layanan, serta kepuasan pelanggan melalui penerapan LSS.

Namun, penting untuk dicatat bahwa implementasi LSS harus disesuaikan dengan konteks, tantangan, dan budaya spesifik dari setiap organisasi agar dapat berjalan efektif dan menghasilkan dampak yang optimal

 

4. Apa saja tantangan umum dalam mengadopsi dan mempertahankan Lean Six Sigma ?

Beberapa tantangan umum yang dihadapi organisasi dalam mengadopsi dan mempertahankan Lean Six Sigma antara lain:

  1. Kurangnya Pemahaman dan Dukungan Kepemimpinan:
    Tanpa dukungan kuat dari manajemen puncak, alokasi sumber daya dan prioritas proyek dapat terhambat, sehingga implementasi menjadi kurang efektif.
  2. Resistensi Karyawan terhadap Perubahan:
    Perubahan proses dan budaya kerja sering kali menimbulkan penolakan atau ketidaknyamanan di kalangan karyawan.
  3. Kurangnya Pelatihan dan Pengembangan Berkelanjutan:
    Jika pelatihan tidak dilakukan secara konsisten, kemampuan dan pemahaman tim dalam menerapkan Lean Six Sigma dapat menurun dari waktu ke waktu.
  4. Kesulitan Mengintegrasikan Lean Six Sigma ke Budaya Organisasi:
    Bila Lean Six Sigma hanya dipandang sebagai proyek terpisah, bukan sebagai bagian dari budaya dan strategi bisnis, inisiatif perbaikan sulit berkelanjutan.
  5. Kurangnya Pengukuran dan Pelacakan Dampak yang Efektif:
    Sulit menunjukkan nilai jangka panjang dan mempertahankan momentum jika hasil dan manfaat perbaikan tidak diukur dan dilaporkan secara sistematis.
  6. Dalam era digital dan transformasi industri 4.0, bagaimana Lean Six Sigma beradaptasi dan tetap relevan?

LSS terus beradaptasi dan tetap sangat relevan dalam era Industri 4.0 dan transformasi digital. Dengan dukungan teknologi data analitik canggih, prinsip-prinsip LSS menjadi semakin efektif dalam menghilangkan pemborosan dan meningkatkan efisiensi.

Kemampuan Six Sigma dalam melakukan analisis data dan pengurangan variasi sangat krusial untuk mengelola kompleksitas proses digital yang semakin berkembang. Selain itu, pemanfaatan big data memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih tepat dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan.

LSS dapat diintegrasikan dengan teknologi digital untuk mempercepat identifikasi masalah, menganalisis akar penyebab secara lebih mendalam, dan mengimplementasikan solusi yang lebih efektif dan efisien di lingkungan digital.

Dengan demikian, LSS menjadi landasan kuat bagi organisasi yang ingin mencapai keunggulan operasional dan mempertahankan daya saing di era transformasi digital.

 


Kesimpulan

Tentu, ini paragraf pertama yang telah direvisi untuk menawarkan keuntungan bagi perorangan, dengan paragraf kedua tetap sama:

LSS bukan hanya sebuah metodologi untuk organisasi, tetapi juga merupakan investasi berharga bagi pengembangan profesional. Kombinasi antara prinsip Lean yang menekankan efisiensi dan penghilangan pemborosan, serta pendekatan Six Sigma yang fokus pada pengurangan variasi dan peningkatan kualitas, membekali individu dengan keterampilan yang sangat dicari di berbagai industri. Penguasaan LSS meningkatkan kemampuan problem-solving, efisiensi kerja, dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi, yang pada akhirnya dapat mempercepat pengembangan karir dan membuka peluang baru.

Jika Anda tertarik untuk membawa diri Anda ke tingkat kinerja yang lebih tinggi melalui implementasi LSS, Anda dapat mempertimbangkan kerja sama dengan SSCX. Sebagai perusahaan yang berpengalaman dalam pelatihan dan implementasi proyek Lean Six Sigma.  SSCX memiliki rekam jejak yang terbukti dalam membantu berbagai organisasi mencapai hasil yang luar biasa. Dengan pendekatan yang disesuaikan dan tim ahli yang berdedikasi, SSCX dapat menjadi mitra strategis Anda.Bersama SSCX, Anda dapat membuka potensi penuh organisasi Anda dan mencapai kesuksesan jangka panjang.

 

Salam Improvement,
SSCX International

Next Articles

Menerapkan disiplin metode LSS seperti, kualitas yang konsisten, kecepatan respon, pengambilan keputusan berbasis data, optimalisasi proses, keterlibatan serta pemberdayaan tim, perusahaan tidak hanya mampu mengidentifikasi dan memecahkan akar permasalahan yang menghambat pertumbuhan, tetapi juga membangun fondasi yang kokoh untuk perbaikan berkelanjutan.

Tujuan dari 5S adalah menciptakan lingkungan kerja yang aman, teratur dan layak bagi pekerja. Dengan begitu, karyawan akan bekerja dengan maksimal dan hasilnya memuaskan konsumen. Semua manfaat ini menghasilkan peningkatan laba dan kepuasan konsumen, yang merupakan tujuan keseluruhan metodologi LSS.